A. ASAS NEGARA HUKUM
Pemikiran negara hukum dimulai sejak
Plato dengan konsepnya “bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi.
Kemudian ide tentang negara hukum
populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang
didominasi oleh absolutisme.
Konsep negara hukum tersebut
selanjutnya berkembang dalam dua sistem hukum, yaitu sistem Eropa Kontinental
dengan istilah Rechtsstaat dan sistem
Anglo-Saxon dengan istilah Rule of Law.
Rule of Law berkembang di negara-negara Anglo-Saxon, seperti Amerika
Serikat.
Konsep negara hukum Eropa Kontinental
Rechtsstaat diperopori oleh Immanuel
Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep ini ditandai oleh empat
unsur pojok : 1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2)
negara didasarkan pada teori trias politika; 3) pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan undang-undang
(wetmatig bertuur); dan 4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Indonesia secara formal sudah sejak
tahun 1945 (UUD 1945 praamendemen) mendeklarasikan diri sebagai negara hukum
terbukti dalam penjelasan UUD 1945 pernah tegas dinyatakan, “Indonesia adalah
negara yang berdasarkan hukum dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan
belaka”. Konsep negara hukum Indonesia dipertegas UUD 1945 hasil amandemen
dalam Pasal 1 Ayat 3 yang menetapkan: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Memerhatikan rumusan konsep negara
hukum Indonesia Ismail Suny mencatat empat syarat negara hukum secara formal
yang menjadi kewajiban kita untuk melaksanakannya dalam Republik Indonesia 1)
hak asasi manusia; 2) pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan
undang-undang; dan 4) peradilan administrasi.
Berdasarkan uraian konsep tentang
negara hukum tersebut ada dua substansi dasar, yaitu : 1) adanya paham
konstitusi, dan 2) sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.
1. Paham Konstitusi
Paham konstitusi memiliki makna bahwa
pemerintahan berdasarkan atas dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (absolirisme). Konsekuensi
logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan
undang-undang dasar (wetmatig heid van
bestuur), berarti bahwa dalam pemerintahan negara presiden selalu eksekutif
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, presiden berhak mengajukan
undang-undang kepada lembaga perwakilan rakyat. Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden
hanya dapat mengeluarkan peraturan, kalau ini mempunyai landasan pada UUD,
atau merupakan penerusan daripadanya.
2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat
Pengertian demokrasi secara harfiah
identik dengan makna kedaulatan takyat yang berarti pemerintahan yang seluruh
rakyatnya turut serta memerintah (pemerintahan rakyat). Filsuf J.J Rosseau
sebagaimana dikutip Ray Rangkuti berpendapat:
Demokrasi perwakilan pada hakikatnya
bukanlah demokrasi karena lebih banyak memuaskan keinginan segelintir orang (will of the few) di legislatif ketimbang
keinginan rakyat sebagai kehendak umum (general
will). Dengan demikian demokrasi langsung merupakan satu-satunya demokrasi
yang tepat (benar).
Demokrasi sendiri secara etimologis
(tinjauan bahasa) terdiri dari dua kata berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos”
yang berarti rakyat (penduduk suatu tempat) dan “cratein” atau “cratos” yang
beraryi kekuasaan (kedaulatan). Jadi
secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada
dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan
kekuasaan oleh rakyat.
Dengan demikian, makna demokrasi
sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa
rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai
kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan
tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan kata lain, bahwa negara yang
menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat.
Berdasarkan uraian di atas, maka hakikat
demokrasi (kedaulatan rakyat) sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara
serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan
rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerimtahan. Adapun kekuasaan
di tangan rakyat mengandung tiga pengertian, yaitu: pemerintahan dari rakyat (government of the people); pemerintahan oleh
rakyat (government by people) dan
pemerintahan untuk rakyat (government for
people).
Menurut Moh.Mahfud M.D ada dua alasan
dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan beregara. Pertama, hampir
semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang
fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah
memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai
organisasi tertingginya.
R. William Liddle mengatakan, bahwa suatu
sistem pemerintahan demokratis, efektif,d an stabil mengandung empat ciri:
1.
Partai-partai politik (1) melalui memilih pejabat yang
secara formal dan informal bertanggung jawab atas policy kenegaraan; (2) ebrsifat bebas dari intervensi pihak lain.
(3) mempunyai dukungan luas dari masyarakat dan (4) mengandalkan kepemimpinan
yang dipercaya oleh anggotanya dan mampu memimpin negara.
2.
Persetujuan umum (consensus)
mengenai : (1) aturan main politik baik
formal maupun informal yang menyangkut proses pengambilan keputusan; (2)
konsensus mengenai nilai-nilai ekonomi, sosial, dan budaya yang ingin dicapai/
dipertahankan masyarakat.
3.
Lembaga eksekutif, yang menentukan (dominan) dalam
proses pengambilan keputusan ke pemerintahan.
4.
Birokrasi negara yang mampu melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah
Menyimpulkan dari kriteria yang menjadi parameter apakah suatu negara
(sistem pemerintahan negara) demokrasi, maka ada tiga parameter penting.
Pertama, masalah pembentukan negara. Kita percaya bahwa proses pembentukan
kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan
yang akan terbangun. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut
konsep kekuasaan, pertanggungjawaban langsung kepada rakyat. Ketiga masalah
kontrol rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan check and balance
terhadap kekuasaan yang dijalankan oleh eksekutif dan legislatif.
B. ASAS PEMBAGIAN KEKUASAAN
Secara umum, suatu sistem kenegaraan membagi kekuasaan pemeintahan ke
dalam “trichotomy” yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan
biasa disebut dengan trias politica.
Berbicara tentang pembagian kekuasaan sclalu dihubungkan dengan Montesquieu.
Menurutnya, dalam setiap pemerintahan terdapat lonis kekuasaan, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, di mana ketiga jenis kekuasaan itu mesti
terpisah satu sama lainnya, baik mengenai alat tugas (fuctie) maupun mengenai alat perlengkapan (orgaan) yang melakukannya. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan
adanya campur tangan atau pengaruh memengaruhi, antara kekuasaan yang satu dengan
yang lainnya, masing-masing terpisah dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang
berbeda-beda itu. Oleh karena itu, ajaran Montesquieu disebut pemisahan
kekuasaan, artinya ketiga kekuasaan itu masing-masing harus terpisah baik
lembaganya maupun orang menanganinya.
Dalam, kenyataannya, menurut Ismail Suny, pembagian kekuasaan
pemerintahan tersebut tidak selalu sempurna, karena kadang-kadang satu sama
lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling pengaruh-memengaruhi. Bahkan
doktrin pemisahan kekuasaan di Inggris dan Amerika Serikat yang dianggap
melukiskan bahwa kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif, melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan yang
ditentukan padanya masing-masing. Sebenarnya tidak berlaku di Inggris Yang
bersistem parlementer dan Amerika serikat yang bersistem presidensiil.
Bagaimana asas pembagian kekuasaan yang dianut Indonesia? UUD 1945
praamendemen tidak memberikan ketentuan yang togas tentang pembagian kekuasaan.
Meminjam teori Ivor Jennings dapatlah dilihat bahwa pemisahan kekuasaan
dalam arti materiil dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan
prinsipiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara karakteristik
memperlihatkan adanya pemisahan itu kepada tiga bagian tidak dianut oleh UUD
1945. UUD 1945 hanya mengenal pemisahan kekuasaan dalam arti formal, oleh
karena itu pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipiil.
Dengan kata lain, UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (derision of power) bukan pemisahan kekuasaan
(separation of power).
Adapun dalam pandangan Soepomo, bahwa UUD 1945 mempunyai sistem
tersendiri, yaitu berdasarkan pembagian kekuasaan. Walaupun dalam pembagian
kekuasaan itu setiap lembaga negara sudah mempunyai tugas tertentu, namun dalam
sistem ini dimungkinkan adanya kerja sama antarlembaga negara.
Jelaslah bahwa, UUD 1945 tidak menganut pemisahan secara (separation of power), tetapi dalam
sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 mengenal adanya pembagian kekuasaan
sebagai berikut:
1)
Pada dasarnya UUD 1945 mengenal pembagian kekuasaan;
2)
UUD 1945 membagi kekuasaan kepada tiga lembaga yang
diatur secara mendasar kedudukan dan fungsinya;
3)
Antarlembaga negara ada kerja sama di dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya sesuai aturan perundang-undangan;
4)
Kekuasaan yudikatif, dalam menjalankan tugasnya
merupakan kekuasaan yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, baik
eksekutif maupun legislatif. Di samping itu, lembaga penuntut umum (Kejaksaan
Agung) yang tidak terdapat penyebutannya dalam UUD 1945.
Menyikapi hal
ini menurut Ismail Suny:
Dalam suatu
negara hukum yang penting bukan ada atau tidak adanya trial politica,
persoalannya adalah dapat atau tidakkah alat-alat kekuasaan negara itu
dihindarkan dari praktik birokrasi dan tirani. Dan hal ini tidaklah tergantung
pada pemisahan kekuasaan itu sendiri, tetapi kepada adanya sendi negara demokrasi
yaitu kcdaulatan rakyat.
Dalam perjalanannya sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan
yang sangat mendasar sejak adanya amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR pada
tahun 1999 hingga 2002. Perubahan tersebut dilatarbelakangi adanya kehendak
untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances yang setara dan seimbang di antara
cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta
menjamin dan melindungi hak asasi manusia.
Dalam kelembagaan negara, salah satu tujuan utama amendemenUUD 1945
adalah untuk menata keseimbangan (check
and balance) antar lembaga negara. Hubungan itu ditata sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi negara
saja apalagi, the central goal of a
constitution is to create the precondition for well functioning democratic
order. Dengan penumpukan kekuasaan pada satu institusi negara, kehidupan
ketatanegaraan yang lebih demokratik tidak mungkin diwujudkan.
Bentuk nyata dari perubahan mendasar hasil amendemen UUD 1945 adalah
perbedaan yang substansial tentang kelembagaan negara menurut UUD 1945 hasil
amandemen dengan UUD 1945, terutama yang menyangkut lembaga negara, kedudukan,
tugas, wewenang, hubungan kerja dan cara kerja lembaga yang bersangkutan.
Berkaitan dengan kelembagaan negara, perubahan pertama UUD 1945 memuat
pengendalian kekuasaan presiden dan tugas serta wewenang DPR dan presiden dalam
hal pembentukan undang-undang. Perubahan kedua UUD 1945 menata ulang
keanggotaan, fungsi, hak, maupun cara pcngisiannya. Perubahan ketiga, membahas
ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan presiden yang berkaitan dengan tata
cara pemilihan dan pemilihan secara langsung, pembentukan lembaga negara baru
meliputi Mahkamah Konstitusi, Dewan perwakilan daerah, dan komisi yudisial
serta pengaturan tambahan BPK. Dan perubahan keempat UUD 1945, meliputi
keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua dan
kemungkinan presiden/wakil presiden berhalangan tetap, serta kewenangan
presiden.
UUD 1945 hasil amendemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 7 (tujuh) lembaga
negara sebagai berikut:
1. Kekuasaan
Eksaminatif (Inspektif), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
2. Kekuasaan
Legislatif, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas:
a.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
3. Kekuasaan
Pemerintahan Negara (Eksekutif), yaitu Presiden, dan Wald' Presiden;
4. Kekuasaan
Kehakiman (Yudikatif), meliputi:
a.
Mahkamah Agung (MA);
b.
Mahkamah Konstitusi (MK);
5. Lembaga
Negara Bantu (The Auxiliary State Body),
yaitu Komisi Yudisial (KY).
C. ASAS NEGARA PANCASILA
Pancasila dalam pengertian ini sering disebut dasar falsafah negara [philosofische Gronslag], ideologi negara
[staatidee]. Dalam hal ini, Pancasila
digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Atau dengan kata lain
Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara seperti dimaksudkan di atas
sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945, yang menyatakan:
“..., maka
disusunlah kemerdekaan kebangsan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar
yang berbentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada ....”
Dipandang dari segi morfologi bahasa Indonesia, kata berdasar berasal
dari kata dasar, yang diberi awalan ber-menjadi berdasar.
Dari sudut sejarah, Pancasila sebagai dasar negara pertama-tama diusulkan
oleh Ir. Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI] tanggal 1 Juni yaitu pada waktu BPUPKI dalam
rapatnya mencari philosofhisce grosnlag
untuk Indonesia yang merdeka, maka diputuskanlah Pancasila sebagai dasar
negara. Sejak saat itu pula Pancasila digunakan sebagai nama dari dasar
falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, meskipun untuk itu
terdapat beberapa tata urut dan rumusan yang berbeda. Sejarah rumusan Pancasila
itu dapat dipisahkan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dan tidak
dapat pula dipisahkan dari sejarah perumusan UUD 1945.
Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa setiap tindakan
rakyat dan negara Indonesia anus sesuai dengan Pancasila yang sudah ditetapkan
sebagai dasar negara tersebut. Hal ini mengingat bahwa Pancasila digali dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, sehingga Pancasila mempunyai fungsi dan
peranan yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pancasila dipandang sebagai dasar negara Indonesia karena di dalamnya
mengandung beberapa asas (lima asas) yang dapat dilihat sebagai berikut:
1. Asas
Ketuhanan Yang Maha Esa
Di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV disebutkan, “..., maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Realisasi dari asas Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin dalam tiga bidang
ketatancgaraan republik Indonesia antara lain:
(1)
Dalam bidang eksekutif, dengan adanya Departemen Agama
dan segala bagian-bagiannya yang mengatur segala soal yang menyangkut agama di
Indonesia;
(2)
Dalam bidang legislatif tercermin pelaksanaannya dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan;
(3)
Dalam bidang Yudikatif, tertuang dalam UU No. 14 Tahun
1970
good article :)
BalasHapusmantap
BalasHapuslumayan menambah pengetahuan tentang hukum
BalasHapus